Nita
terpaku dalam duduknya. Tubuhnya gemetar seperti orang yang sedang kejang.
Jantungnya berdetak dengan alur yang tidak seharusnya. Pesan itu membuatnya
sangat terkejut. Pikirannya melayang menuju masa ketika dia masih duduk di
bangku Madrasah Tsanawiyah. Entah apa yang sebenarnya terjadi setelah
kepergiannya, namun inilah yang harus dia hadapi. Dengan tenaga yang masih
tersisa, Nita mencoba meraih hapenya yang tergeletak di lantai. Dia membaca
kembali pesan yang diterimanya dari Syifa, teman kecilnya, berharap kata demi
kata yang ada di dalam pesan tersebut telah berubah dan memiliki arti yang
lain. Nita memejamkan matanya dan berdoa dalam hati. ‘aku mohon, berubah!’
Setelah
cukup waktu terpejam, Nita membuka kembali kedua matanya. Tiba-tiba dia
menangis tersedu-sedu. Hatinya merasa sangat pilu. “arghhh … kenapa ga berubah
sih?!” jerit Nita sambil melemparkan hapenya. Emosinya saat itu tak terkontrol.
Hatinya hancur berkeping-keping. Dia menyesal telah meninggalkan Syifa, teman
kecilnya tersebut.
***
Matahari
tenggelam. Burung-burung pipit yang ada di pohon mangga di samping rumahnya
berhenti menyicit. Nita terbangun dari tidurnya yang hanya sekejap. Mendengar
suara adzan maghrib yang sedang berkumandang, dia bergegas pergi untuk
berwudhu. Dia mencoba khusyu’ dalam sholatnya, namun pesan yang tadi sore dia
terima tak bisa dia hilangkan begitu saja. Seperti bayang-bayang hantu yang
selalu menghiasi langkah-langkah hidupnya.
“Ya
Allah, berikanlah aku petunjuk dan rahmat-Mu. Ampunilah dosa-dosaku dan juga
dosa-dosa orang-orang yang aku sayangi. Jika ini kehendak-Mu, berikanku petunjuk
dan rahmat-Mu dan perkenankan aku untuk mengajaknya kembali kepada-Mu. Amin.” Nita
bersujud di atas sajadah yang warnanya sudah memudar. Dia berjanji akan mengajak Syifa
kembali ke jalan-Nya.
***
Tut.. tut.. tut.. tut…
Tut.. tut.. tut.. tut…
“Nit,
ada pesan nih dari Syifa.”
“Iya,
Pak. Sebentar lagi aku kesitu, kok.”
“kenapa
hape kamu lecet begini?” Tanya Bapak heran ketika melihat ada goresan di hape
Nita. Nita hanya tersenyum lalu duduk di samping Bapaknya. “tadi jatuh dari
lemari, pak.”
Sebuah
pesan singkat tertera di layar hape butut Nita. Dia segera mohon diri kepada
bapaknya untuk pergi ke kamar.
Aku tahu aku salah. Aku khilaf dan sekarang aku kacau,
Nit. Bantu aku …
Tangisnya
tak tertahankan lagi. Air mata itu terjatuh tanpa dia harapkan. Dibalasnya pesan tersebut.
Besok aku tunggu di taman kota. Aku harap kamu datang.
Aku tak bisa tinggal lebih lama di sini karena minggu depan aku harus kembali …
aku pasti membantumu J
Diselipkannya
senyum untuk Syifa agar dia yakin bahwa Nita akan membantunya dan dia tidak
sendiri. Pikirannya masih juga tidak
mengerti tentang Syifa. Siapa yang harus disalahkan? Dihempaskan badannya ke
atas kasur lusuh yang dulu diberikan Bapak sebagai hadiah prestasinya di bidang
akademik. Mesti sudah tidak seindah dan seempuk dulu, namun dia tetap tidak mau
untuk mengganti kasur tersebut. Hadiah terindah yang pernah dia terima dari bapaknya. Lama melayang ke
alam yang dia sendiri tidak tahu kejelasannya, akhirnya Nita tertidur. Terlelap dalam mimpi dengan pikiran
yang belum juga menemukan ketenangan dan kejelasan dengan keadaan yang sedang dia hadapi.
***
Nita
bergegas menuju taman kota dimana dia dan Syifa akan bertemu. Dia berjanji pada
dirinya sendiri untuk menanyakan semuanya dengan cara perlahan dan tanpa emosi.
Waktu sudah menunjukkan
pukul tujuh lebih lima belas menit. Dengan jilbab putih yang dulu sering
dipakai almarhum ibunya, Nita melangkah meninggalkan rumah dan siap untuk
menghadapi apapun yang akan terjadi.
Seorang
wanita dengan jeans hitam dan kaos putih polos duduk di salah satu kursi-kursi
kecil yang ada di taman kota. Wajahnya terlihat pucat dan penuh kesedihan.
Matanya sedikit sembab. Tiba-tiba hapenya berbunyi singkat menandakan ada pesan
masuk yang harus segera dia baca.
Aku sudah di taman kota, kamu dimana?
Tanpa
membutuhkan waktu yang lama, pesan itupun dibalasnya. Ada sedikit senyum dan
cahaya yang terpancar dari wajah pucatnya.
Aku sudah menunggumu,Nit. aku duduk di kursi kecil yang
ada di sekitar air mancur. Aku sendiri..
Tanpa
menunggu waktu yang cukup lama, Nita dapat menemukan tempat yang tadi
disampaikan oleh Syifa. Matanya terbelalak kaget ketika melihat dari jarak yang
tidak terlalu jauh bahwa wanita yang sedang duduk di kursi kecil itu adalah
Syifa. Dia seperti tidak mengenal wanita itu, bukan Syifa teman kecilnya.’
Mungkinkah itu syifa?’ Pikirnya dalam hati. Ada rasa ragu dalam hatinya. Namun
dia mencoba untuk membuktikan kebenaran dengan menghampiri wanita tersebut.
“Syifa?”
Tanya Nita penuh keraguan.
“Nita?”
Tanya wanita itu sambil bangkit dari duduknya. “kamu Nita?” tanyanya lagi. Nita
hanya mengangguk dan wanita itupun langsung memeluknya. Setelah cukup lama
menghilangkan rasa rindu karena sudah lama tidak bertemu, Nita pun mengajak
Syifa untuk mengobrol di taman kecil yang ada di dekat masjid. Awalnya Syifa menolak, namun akhirnya
dia setuju dengan permintaan Nita.
“dari
dulu kamu tidak berubah. Masih saja berjilbab,” Syifa membuka pembicaraan mereka
dengan penuh keraguan.
“memakai
jilbab itu kewajiban setiap muslimah, Syif. Jilbabmu kemana?”
“aku
tak tahu. Entah sudah berada lama aku tidak menyentuh barang suci itu. Aku
sudah berbeda,Nit.” jelas Syifa. Tiba-tiba wajahnya terlihat lebih pucat dan
muram. Dia memalingkan wajahnya dari
Nita.
“iya.
Kamu memang berbeda. Sekarang terlihat lebih langsing dan cantik. Tidak seperti
aku yang masih saja seperti bola, hehehe ..” Nita mencoba menghangatkan suasana
yang terasa dingin tersebut. Namun sayangnya dia tidak berhasil membuat
temannya tertawa atau bahkan tersenyum. Syifa menatap Nita penuh harap dan
kesedihan. Air matanya berurai. “aku sudah berbeda. Aku sudah tidak suci lagi.
Aku kotor. Aku hina. Aku benci diriku sendiri..” Syifa memaki dan menampari
dirinya sendiri. Dia menangis tersedu-sedu. Nita memeluknya untuk mengatakan
bahwa masih ada orang yang menganggapnya berharga dan setia bersamanya. Dia
tidak sendiri.
“sudahlah.
Awalnya aku tidak percaya ketika membaca sms itu, Syifa. Aku berharap bukan kamu yang mengirim sms
tersebut. Bukan kamu orang yang benar-benar mengalami semua itu. Tapi, kini aku
tahu bahwa semua itu memang nyata dalam hidupku. Kamu yang mengalaminya dan aku
tahu kamu terpukul,” ucap Nita seraya memperkuat pelukannya. Syifa melepas dekapan hangat temannya, dia
meminum seteguk air putih yang dia beli di perempatan jalan menuju taman kota.
Hatinya terasa lebih lega.
“maafkan
aku,Nit. aku memang bodoh,”
“tidak.
Kamu tidak bodoh. Kamu hanya khilaf. Jelaskan padaku apa yang sebenarnya
terjadi agar aku bisa membantumu,”
“dulu
aku merasa bangga memakai jilbab. Namun, setelah kamu pindah sekolah aku merasa
sendiri untuk berjilbab. Hingga suatu
hari, Anggi mengajakku untuk menghadiri pesta ulang tahun Nurma. Dia mengatakan
bahwa dia mengajakku agar aku tidak merasa kesepian.”
“Anggi?
Siapa dia?” Tanya Nita. Ada rasa penasaran mendengar nama yang cukup asing di
telinganya.
“dia
seniorku di club karate. Karena aku
terlalu banyak melamun, dia sering menegurku. Hingga akhirnya aku menceritakan
semua masalahku. Mulai dari kehilanganku akan ibu, kepergianmu ke Solo dan
jilbab yang semakin menipis pemakainya,”
“lalu?”
“dia
mengajakku ke pesta itu dengan syarat aku harus melepas jilbabku. Awalnya aku
tidak mau. Namun, dia memaksa. Setelah aku meninggalkan jilbabku, dia
mengatakan bahwa aku terlihat lebih cantik. Dia merayuku, memuji-muji diriku bahkan
mengatakan cinta kepadaku.”
“dan
kamu menerimanya. Hingga syaitan tertawa karena kemenangannya mengalahkan
imanmu?!” emosi
Nita mulai membuncah . Dia memang orang yang sudah tidak bisa diajak kompromi jika membicarakan hukum berjilbab bagi seorang
muslimah dan juga pacaran. Beberapa saat berlalu tanpa suara. Nita menyadari
bahwa ucapannya terlalu kasar dan diapun mencoba mencairkan suasana kembali. “maafkan
aku, Syifa. Aku juga salah telah meninggalkanmu,” Nita menatap wajah Syifa
penuh penyesalan.
“tidak.
Kamu tidak bersalah,” Syifa duduk dengan
tatapan kosong. “setelah kami berpacaran selama tiga bulan, dia mengajakku untuk
dinner di rumahnya. Dia bilang akan
mengenalkanku pada orang tuanya. Tapi ternyata disana tak ada orang sama
sekali. Dia merayuku setengah mati. Aku terbuai,” Syifa menundukkan kepalanya,
mengusap tangis hatinya. Gambaran kotor itu mengisi pikirannya. “dia memberiku
segelas coklat hangat karena malam itu hujan turun dengan derasnya. Dia
memelukku sangat erat. Tiba-tiba mataku berkunang-kunang. Dia mengajakku ke
kamarnya. Dan…kamu pasti tahu apa yan terjadi,” jelasnya terbata-bata dan air mata terjatuh dipipinya yang merah merona. Nita
kembali memeluknya. Masalah batin itu memang tidak mudah untuk dilupakan.
Apalagi ketika orang-orang yang ada di sekitarnya sudah menganggapnya tidak
ada.
“Aku
tahu kamu sudah berbuat dosa. Namun, Allah Maha Pengampun. Jika kamu berkenan,
aku akan membimbingmu kembali ke jalan-Nya,” jelas Nita menenangkan hati teman
kecilnya. “aku akan mohon izin kepada Bapakmu untuk mengajakmu tinggal
bersamaku di Solo. Aku yakin beliau mengizinkan. Apa kamu mau?” Tanya Nita
dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
“bantu
aku,Nit. aku yakin kamu bisa menuntunku,”
“InsyaAllah!
Sebaiknya sekarang kita pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat taubat. Aku
akan membantumu. Kita perbaiki semuanya, sedikit demi sedikit.” Tutur Nita. Syifa
mengangguk pelan. Mereka pun bangun dari duduknya dan pergi menuju Masjid
Al-Hikmah. Tak ada gading yang tak retak. Namun bukan berarti tidak ada harapan
sama sekali untuk memperbaiki kehidupan yang sudah terbengkalai. Tidak ada hal yang tidak mungkin jika kita
tidak sampai menyekutukan-Nya. Allah Maha Pengampun!
NB: belajar nulis, memori lama yang tersimpan di buku tua :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar