TRAGIS betul kisah hukuman bagi koruptor di negeri ini, lihat saja, misalnya, Aat Syafa'at yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi proyek pembangunan dermaga Pelabuhan Kubangsari senilai Rp 45 miliar lebih itu, hanya divonis 3,5 tahun penjara, denda Rp 400 juta dan membayar uang pengganti Rp 7 miliar. Jika dikalkulasikan secara logis, berarti jika dikurangi denda dan uang pengganti, uang korupsi Aat masih tersisa Rp 37,6 miliar lagi.
Mendekam 3,5 tahun penjara bukanlah masa yang cukup lama, belum lagi nanti mendapat remisi, grasi atau abolisi, yang intinya menambah mengurangi masa tahanan penjara. Jika demikian, enak benar koruptor di negeri ini, pantas jika adagium mengatakan bahwa negeri ini adalah sorganya koruptor. Hukuman dunia boleh lemah, dibutakan, tidak adil, penuh kepincangan, tapi jelas tidak hukuman di akhirat kelak.
Selain Aat, saya yakin sangat banyak koruptor di Banten khususnya, baik dilingkungan Pemprov, Pemda maupun Pemkot. Tinggal penegakan hukum, antara lain, Kejaksaan, LSM, dan pihak-pihak terkait harus saling bekerja sama dalam kebaikan untuk memberantas para koruptor di Banten. Dan tak terlupakan, tugas KPK harus terus memantau perkembangan korupsi di daerah, berbagai pihak harus melaporkan gelagat korupsi baik eksekutif maupun legislatif di Banten.
Padahal dikatakan kejahatan korupsi tergolong extra ordinary crime, tapi vonisnya sama sekali sangat jauh dari nilai-nilai extra ordinary. Inilah sebetulnya sangat mengkhawatirkan, karena bisa saja menjadi contoh bagi para calon koruptor lainnya untuk melakukan hal yang sama. Orang akan berpikir, lebih baik korupsi besar-besaran daripada melakukan kejahatan kelas teri. Dengan kondisi penegakan hukum seperti ini, nampaknya Indonesia masih akan sangat jauh dapat terbebas dari korupsi. Negeri ini harus belajar dari Negeri Tirai Bambu.
Berbagai pihak pendukung hukuman berat bagi koruptor selalu mengacu ke China, dan memuji berbagai usaha China dalam menumpas penyakit korupsi yang mewabah di ranah para penentu kebijakan. Salah satu cara yang diusulkan para pendukung hukuman berat adalah memperkenalkan hukuman mati bagi pelaku korupsi di Indonesia. Mereka menganjurkan untuk belajar dari Cina dan dari kebijakannya dalam memberantas korupsi.
Menurut perkiraan Amnesty International, sekitar 1.770 orang dieksekusi di China pada tahun 2005, dan 3.900 orang dijatuhi hukuman mati. Beberapa ahli hukum China memperkirakan bahwa sebetulnya jumlah yang sesungguhnya jauh lebih besar, dan bahkan mungkin mendekati 8.000 eksekusi per tahun. Pihak-pihak lain bahkan menyebutkan angka 10.000.
Bahkan sebagai akibat terlalu banyaknya kasus eksekusi mati terhadap para pelaku korupsi, hakim tertinggi di Cina, Xiao Yang, ketua Mahkamah Agung, mendesak para hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman mati apabila masih mungkin memberi hukuman yang lebih ringan. Mahkamah Agung China menyetujui amandemen terhadap undang-undang kriminal yang memusatkan kontrol atas eksekusi. Mahkamah Agung China akan kembali memperoleh wewenang memutuskan seluruh hukuman mati. Gerakan ini dilihat sebagai jawaban terhadap meningkatknya kritik publik terhadap meluasnya praktek hukuman mati secara sewenang-wenang (Rainer Adam, 2007).
Setiap negara memang memiliki alasan tersendiri untuk memberlakukan hukuman bagi koruptor. Kasus di China mungkin yang paling ekstrem di mana koruptor harus berakhir di tiang gantungan. Atau di Asia umumnya, termasuk di Indonesia, masih memberlakukan hukuman mati. Aurilia Placias (2004), seorang tokoh HAM, optimis bahwa keadaan ini akan berubah. Menurut dia, di Asia terjadi pengurangan jumlah eksekusi. Selain itu, sudah jauh lebih banyak aktifis dan organisasi Hak Azasi Manusia di Asia yang menentang hukuman mati.
Berseberangan dengan itu, banyak negara-negara maju yang mulai tidak memberlakukan hukuman mati. Paling tidak ada empat cacat utama yang biasanya terlihat pada hampir semua negara dimana hukuman mati masih berlaku. Yakni sistem hukum yang tidak transparan, dimana keterangan mengenai siapa yang akan dijatuhi hukuman mati, bagaimana hukuman itu akan dijalankan, kapan dan dimana pelaksaannya itu biasanya dirahasiakan.
Jenis kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman mati juga sangat luas, adanya kondisi dimana hukum memiliki aspek yang tidak adil, dan peluang untuk mendapatkan amnesti sangat kecil. Alasan lain yang menentang hukuman mati ialah, jika hukuman mati diharapkan dapat menimbulkan efek jera, tapi kenapa masih ada saja para pelaku kejahatan?
Melihat alasan hukuman mati yang masih kontroversial dan dianggap bertentangan dengan HAM, maka hukuman berat apa yang harus dijatuhkan kepada pelaku korupsi, sehingga benar-benar efektif dan menimbulkan efek jera. Hukuman yang berkaca dari China tapi juga sekaligus tak harus seekstrem seperti hukuman mati.
Hukuman yang memberatkan bagi para koruptor yang paling memungkinkan ialah hukuman penjara sekaligus subsider. Langkah ini diambil mengingat tidak sedikit terpidana korupsi lebih memilih hukuman penjara ketimbang membayar denda karena hukuman penjara relatif singkat.
Karena itulah, selain hukuman penjara dalam waktu yang cukup lama, koruptor juga harus mengembalikan uang negara yang semula dikorupsi. Selain bertujuan menimbulkan efek jera bagi koruptor, tuntutan hukuman penjara lebih tinggi mendorong terpidana berusaha keras membayar denda atas perbuatannya. Dengan begitu, lebih banyak uang negara yang dapat diselamatkan.
Selama ini penyitaan terhadap aset koruptor jarang dilakukan. Akibatnya, orang yang didakwa korupsi tetap mempunyai kesempatan untuk memiliki dan menggunakan harta hasil korupsinya. Bahkan, orang yang masih berstatus tersangka korupsi dapat kabur membawa asetnya. Pemberantasan korupsi memang tidak sekedar mengembalikan uang negara. Lebih penting dari itu, kejaksaan harus menindak tegas pelaku korupsi dan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya terhadap koruptor. Jadi, selain subsider dan pengembalian aset negara yang telah dikorupsi, koruptor juga harus dihukum seberat-beratnya.
Sebab pelaksanaan hukuman koruptor yang sekarang belum mampu mengurangi koruptor dan menghilangkan korupsi. Maka para koruptor perlu diberi hukuman yang berefek menjerakan, bukan hanya sekedar memenjarakan dalam waktu singkat seperti selama ini terjadi. Dengan hukuman yang berat, bagi siapapun diharapkan akan merasa takut melakukan tindakan korupsi.
Itu harus sungguh-sungguh dilakukan pemerintah, karena korupsi adalah penyakit akut yang mendera bangsa ini dimana sudah menimbulkan kesengsaraan pada generasi sekarang. Karena itulah, pihak-pihak yang selama ini memperjuangkan pemberantasan korupsi harus terus berada di front terdepan supaya koruptor benar-benar enyah dari republik tercinta Indonesia.
Mendekam 3,5 tahun penjara bukanlah masa yang cukup lama, belum lagi nanti mendapat remisi, grasi atau abolisi, yang intinya menambah mengurangi masa tahanan penjara. Jika demikian, enak benar koruptor di negeri ini, pantas jika adagium mengatakan bahwa negeri ini adalah sorganya koruptor. Hukuman dunia boleh lemah, dibutakan, tidak adil, penuh kepincangan, tapi jelas tidak hukuman di akhirat kelak.
Selain Aat, saya yakin sangat banyak koruptor di Banten khususnya, baik dilingkungan Pemprov, Pemda maupun Pemkot. Tinggal penegakan hukum, antara lain, Kejaksaan, LSM, dan pihak-pihak terkait harus saling bekerja sama dalam kebaikan untuk memberantas para koruptor di Banten. Dan tak terlupakan, tugas KPK harus terus memantau perkembangan korupsi di daerah, berbagai pihak harus melaporkan gelagat korupsi baik eksekutif maupun legislatif di Banten.
Padahal dikatakan kejahatan korupsi tergolong extra ordinary crime, tapi vonisnya sama sekali sangat jauh dari nilai-nilai extra ordinary. Inilah sebetulnya sangat mengkhawatirkan, karena bisa saja menjadi contoh bagi para calon koruptor lainnya untuk melakukan hal yang sama. Orang akan berpikir, lebih baik korupsi besar-besaran daripada melakukan kejahatan kelas teri. Dengan kondisi penegakan hukum seperti ini, nampaknya Indonesia masih akan sangat jauh dapat terbebas dari korupsi. Negeri ini harus belajar dari Negeri Tirai Bambu.
Berbagai pihak pendukung hukuman berat bagi koruptor selalu mengacu ke China, dan memuji berbagai usaha China dalam menumpas penyakit korupsi yang mewabah di ranah para penentu kebijakan. Salah satu cara yang diusulkan para pendukung hukuman berat adalah memperkenalkan hukuman mati bagi pelaku korupsi di Indonesia. Mereka menganjurkan untuk belajar dari Cina dan dari kebijakannya dalam memberantas korupsi.
Menurut perkiraan Amnesty International, sekitar 1.770 orang dieksekusi di China pada tahun 2005, dan 3.900 orang dijatuhi hukuman mati. Beberapa ahli hukum China memperkirakan bahwa sebetulnya jumlah yang sesungguhnya jauh lebih besar, dan bahkan mungkin mendekati 8.000 eksekusi per tahun. Pihak-pihak lain bahkan menyebutkan angka 10.000.
Bahkan sebagai akibat terlalu banyaknya kasus eksekusi mati terhadap para pelaku korupsi, hakim tertinggi di Cina, Xiao Yang, ketua Mahkamah Agung, mendesak para hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman mati apabila masih mungkin memberi hukuman yang lebih ringan. Mahkamah Agung China menyetujui amandemen terhadap undang-undang kriminal yang memusatkan kontrol atas eksekusi. Mahkamah Agung China akan kembali memperoleh wewenang memutuskan seluruh hukuman mati. Gerakan ini dilihat sebagai jawaban terhadap meningkatknya kritik publik terhadap meluasnya praktek hukuman mati secara sewenang-wenang (Rainer Adam, 2007).
Setiap negara memang memiliki alasan tersendiri untuk memberlakukan hukuman bagi koruptor. Kasus di China mungkin yang paling ekstrem di mana koruptor harus berakhir di tiang gantungan. Atau di Asia umumnya, termasuk di Indonesia, masih memberlakukan hukuman mati. Aurilia Placias (2004), seorang tokoh HAM, optimis bahwa keadaan ini akan berubah. Menurut dia, di Asia terjadi pengurangan jumlah eksekusi. Selain itu, sudah jauh lebih banyak aktifis dan organisasi Hak Azasi Manusia di Asia yang menentang hukuman mati.
Berseberangan dengan itu, banyak negara-negara maju yang mulai tidak memberlakukan hukuman mati. Paling tidak ada empat cacat utama yang biasanya terlihat pada hampir semua negara dimana hukuman mati masih berlaku. Yakni sistem hukum yang tidak transparan, dimana keterangan mengenai siapa yang akan dijatuhi hukuman mati, bagaimana hukuman itu akan dijalankan, kapan dan dimana pelaksaannya itu biasanya dirahasiakan.
Jenis kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman mati juga sangat luas, adanya kondisi dimana hukum memiliki aspek yang tidak adil, dan peluang untuk mendapatkan amnesti sangat kecil. Alasan lain yang menentang hukuman mati ialah, jika hukuman mati diharapkan dapat menimbulkan efek jera, tapi kenapa masih ada saja para pelaku kejahatan?
Melihat alasan hukuman mati yang masih kontroversial dan dianggap bertentangan dengan HAM, maka hukuman berat apa yang harus dijatuhkan kepada pelaku korupsi, sehingga benar-benar efektif dan menimbulkan efek jera. Hukuman yang berkaca dari China tapi juga sekaligus tak harus seekstrem seperti hukuman mati.
Hukuman yang memberatkan bagi para koruptor yang paling memungkinkan ialah hukuman penjara sekaligus subsider. Langkah ini diambil mengingat tidak sedikit terpidana korupsi lebih memilih hukuman penjara ketimbang membayar denda karena hukuman penjara relatif singkat.
Karena itulah, selain hukuman penjara dalam waktu yang cukup lama, koruptor juga harus mengembalikan uang negara yang semula dikorupsi. Selain bertujuan menimbulkan efek jera bagi koruptor, tuntutan hukuman penjara lebih tinggi mendorong terpidana berusaha keras membayar denda atas perbuatannya. Dengan begitu, lebih banyak uang negara yang dapat diselamatkan.
Selama ini penyitaan terhadap aset koruptor jarang dilakukan. Akibatnya, orang yang didakwa korupsi tetap mempunyai kesempatan untuk memiliki dan menggunakan harta hasil korupsinya. Bahkan, orang yang masih berstatus tersangka korupsi dapat kabur membawa asetnya. Pemberantasan korupsi memang tidak sekedar mengembalikan uang negara. Lebih penting dari itu, kejaksaan harus menindak tegas pelaku korupsi dan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya terhadap koruptor. Jadi, selain subsider dan pengembalian aset negara yang telah dikorupsi, koruptor juga harus dihukum seberat-beratnya.
Sebab pelaksanaan hukuman koruptor yang sekarang belum mampu mengurangi koruptor dan menghilangkan korupsi. Maka para koruptor perlu diberi hukuman yang berefek menjerakan, bukan hanya sekedar memenjarakan dalam waktu singkat seperti selama ini terjadi. Dengan hukuman yang berat, bagi siapapun diharapkan akan merasa takut melakukan tindakan korupsi.
Itu harus sungguh-sungguh dilakukan pemerintah, karena korupsi adalah penyakit akut yang mendera bangsa ini dimana sudah menimbulkan kesengsaraan pada generasi sekarang. Karena itulah, pihak-pihak yang selama ini memperjuangkan pemberantasan korupsi harus terus berada di front terdepan supaya koruptor benar-benar enyah dari republik tercinta Indonesia.
Ismatillah A. Nu’adPeneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Universitas Paramadina, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar